Ciu Bekonang solo , minuman lambang perlawanan di era kolonial
Indonesia memang negara yang sangat kaya budaya dan tradisi. Dari pakaian, rumah adat, upacara tradisional, sampai ke urusan makan dan minum. Banyak daerah di Indonesia yang mempunyai minuman tradisional dengan ciri khas masing-masing yang sangat lekat dengan budaya setempat, baik itu yang mangandung alkohol maupun non alkohol. Dan salah satu yang cukup dikenal oleh masyarakat luas adalah minuman beralkohol jenis ciu dari Bekonang, sebuah dusun yang terletak di sebelah timur laut Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Ciu berbeda dengan arak, walaupun mempunyai cara fermentasi yang hampir sama. Ciu berbahan dasar tetes tebu, sedangkan arak berasal dari beragam sari buah yang difermentasikan. Sebuah minuman tradisional khas Solo dan sekitarnya .
Orang Solo sering menyebut minuman tradisional itu dengan sebutan Ciu. Karena “pabrik-pabrik” nya banyak ditemui di kawasan Bekonang – Sukoharjo (sebuah daerah kawasan pinggiran Solo) tak sedikit yang menyebutnya dengan sebutan Ciu Bekonang.
Gimana caranya bikin Ciu, sejujurnya aku tidak mengetahuinya. Namun, setelah saya coba googling kesana kemari, saya peroleh sedikit referensi singkat tentang proses membuat minuman Ciu ini. Simpel-nya, cairan berisi campuran gula kelapa, tape singkong, dan lalu dilarutkan dan dicampur ke dalam sebuah panci yang dibakar di atas perapian. Setelah itu, panci ditutup. Kemudian tutup panci tersebut dihubungkan dengan pipa bambu, lantas disalurkan melewati air dingin. Selanjutnya di ujung pipa ditempatkan gelas kaca besar berukuran 2-3 liter untuk menampung air hasil sulingannya. Demikian sedikit referensi tentang proses pembuatan minuman Ciu.
Ciu
Bekonang bukanlah sebuah jualan satu arah. Dari sekian banyak industri
ciu rumahan yang ada di sana, beberapa memang menjualnya kepada industri
yang lebih besar, tapi ada juga yang menjualnya secara eceran kepada
para pelanggan. Sejarah munculnya industri ciu Bekonang ini tidak lepas
dari budaya mabuk dalam kehidupan masyarakat Jawa, terutama Surakarta.
Aktivitas pesta miras ternyata sudah lama berkembang di pribumi Nusantara. Dalam sebuah naskah kuno Negarakertagama yang
ditulis pada zaman keemasan Majapahit, diketahui bahwa minuman keras
pada masa itu selalu menjadi bagian dari perjamuan agung di
kraton-kraton. Marbangun Hardjowirogo dalam buku yang berjudul Manusia Jawa (1984) memberi keterangan singkat bahwa Solo di tahun 1920-an sudah bisa menghasilkan jenewer yang merupakan penjawaan dari kata Belanda, jenever, di sebuah daerah di seberang selatan Bengawan Solo, yaitu Bekonang.
Baca juga : Soto trisakti solo, kuliner yang melegenda dari generasi ke generasi
Kemunculan ciu Bekonang berkaitan erat dengan berdirinya pabrik gula Tasikmadu di Karanganyar yang kala itu merupakan aset penting Pura Mangkunegaran, Solo. Dari pemrosesan tetes tebu yang sedemikian rupa, terciptalah air memabukkan khas Bekonang yang disebut ciu. Saat itu, pembuatan ciu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi walau kadar alkoholnya masih rendah. Awalnya, alkohol diproduksi untuk minuman keras dan mabuk-mabukan. Ini akibat pengaruh hegemoni kraton yang kerap mempunyai gelaran acara pesta panen raya maupun penyambutan tamu kerajaan dengan mengadakan pesta dan tarian tradisional seperti tayub. Diriwayatkan oleh Triknopranoto dalam Sejarah Kutha Sala, bahwa tempo dulu setiap ada acara tayuban, kerap terjadi tawuran, sebab mereka yang berjoget sering lepas kontrol karena kelebihan menenggak ciu. Sehingga wajar apabila muncul konotasi buruk mengenai kehidupan kraton dan priyayi di mata Belanda kala itu.
Desa
Bekonang sempat pula menjadi sasaran operasi Belanda. Razia yang
digelar lima tahunan (1920–1925) melibatkan pamong setempat sebagai
mata-mata. Saking semangatnya mengintai sasaran, para mata-mata ini
sering tidak akurat dalam memberikan informasi dengan melaporkan pembuat
tape singkong sebagai “produsen arak gelap”. Seiring bertambahnya
waktu, ciu Bekonang pun kian populer karena sudah mempunyai pasar serta
pelanggan yang tetap.
Di era kini,
bila Anda menyusuri Jalan Ciu, sebuah jalan di daerah Bekonang, Anda
akan banyak menjumpai warung-warung yang menghidangkan ciu dengan aneka
rasa. Misalnya ada istilah Cisprite, yaitu campuran ciu dengan minuman ringan merek Sprite dengan perbandingan 1:1. Selain itu, ada juga Cikola sebagai campuran ciu dan Coca-Cola, Ciut (ciu dengan Nutrisari), Cias (ciu dengan wedang asam), Ciu 3 Dimensi (campuran ciu, bir dan minuman Kratingdaeng), Ciu 4 Dimensi (ciu, bir, Kratingdaeng, dan Sprite), serta Kidungan (ciu dengan campuran air rendaman tanduk kijang). Jenis terakhir inilah yang diyakini sebagai obat kuat.
pada tahun 1945 perajin industri rumah tangga ciu Bekonang hanya
berjumlah 20-an orang dan hasil produksinya kurang lebih hanya 10 liter
per hari. Antara tahun 1961-1964, industri alkohol sudah mulai ada
kemajuan, yaitu ada peningkatan kadar alkohol dari 27% menjadi 37%
dengan peralatan yang juga masih sangat sederhana. Kini, alkohol telah
dipasarkan mencapai hampir ke seluruh wilayah Karesidenan Surakarta,
Surabaya, Kediri, dan lain-lain. Dampaknya, taraf hidup masyarakat
Bekonang pun meningkat karena dapat bermobilisasi secara horizontal
maupun vertikal.
Kendatipun disebut dan dikonotasikan sebagai minuman para preman dan pekerja-pekerja kelas rendahan, pada akar sejarahnya minuman ciu ini sebenarnya justru berasal dari sebuah budaya menyimpang Kraton yang dipengaruhi oleh bujukan para penjajah Belanda.
Comments
Post a Comment